" Wajah Penegakan Hukum Indonesia "

Diskusi Milenial Mahasiswa Hukum

LSO PUKASH FH UMM

(Edisi 6)

 

Pemantik : Satrio Cahyo B.

Penegakan hukum merupakan rangkaian proses penjabaran ide dan cita hukum yang memuat nilai-nilai moral seperti keadilan dan kebenaran kedalam bentuk-bentuk konkrit, dalam mewujudkannya membutuhkan suatu organisasi seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan sebagai unsur klasik penegakan hukum yang dibentuk oleh negara, dengan kata lain bahwa penegakan hukum pada hakikatnya mengandung supremasi nilai substansial yaitu keadilan. (Satjipto Rahardjo, 2009 : vii-ix).

Penegakan hukum atau yang di dalam bahasa Inggris disebut dengan law enforcement. Menurut Black’s Law Dictionary, law enforcement diartikan sebagai the act of putting something such as a law into effect; the execution of law; the carriying out of a mandate or command. Secara sederhana Muladi menyatakan bahwa penegakan hukum (law enforcement) merupakan usaha untuk menegakkan norma-norma hukum dan sekaligus nilai-nilai yang ada di belakang norma tersebut. Dengan demikian para penegak hukum harus memahami benar spirit hukum (legal spirit) yang mendasari peraturan hukum yang harus ditegakkan dan dalam hal ini akan berkaitan dengan berbagai dinamika yang terjadi dalam proses pembuatan perundang-undangan (law making process).

Reformasi penegakan hukum idealnya harus dilakukan melalui pendekatan sistem hukum (legal system). Sudikno Mertokusomo mengartikan sistem hukum adalah suatu kesatuan yang terdiri dari unsurunsur yang mempunyai interaksi satu sama lain dan bekerja sama untuk mencapai tujuan kesatuan tersebut. Menurut Lawrence M. Friedman, dalam setiap sistem hukum terdiri dari 3 (tiga) sub sistem, yaitu sub sistem substansi hukum (legal substance), sub sistem struktur hukum (legal structure), dan subsistem budaya hukum (legal culture). Substansi hukum meliputi materi hukum yang diantaranya dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Struktur hukum menyangkut kelembagaan (institusi) pelaksana hukum, kewenangan lembaga dan personil (aparat penegak hukum). Sedangkan kultur hukum menyangkut perilaku (hukum) masyarakat. Ketiga unsur itulah yang mempengaruhi keberhasilan penegakan hukum di suatu masyarakat (negara), yang antara satu dengan lainnya saling bersinergi untuk mencapai tujuan penegakan hukum itu sendiri yakni keadilan.

Salah satu subsistem yang perlu mendapat sorotan saat ini adalah struktur hukum (legal structure). Hal ini dikarenakan struktur hukum memiliki pengaruh yang kuat terhadap warna budaya hukum. Budaya hukum adalah sikap mental yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau bahkan disalahgunakan. Struktur hukum yang tidak mampu menggerakkan sistem hukum akan menciptakan ketidakpatuhan (disobedience) terhadap hukum. Dengan demikian struktur hukum yang menyalahgunakan hukum akan melahirkan budaya menelikung dan menyalahgunakan hukum. Berjalannya struktur hukum sangat bergantung pada pelaksananya yaitu aparatur penegak hukum. Menurut Soerjono Soekanto, ruang lingkup dari istilah “penegak hukum” luas sekali, oleh karena mencakup mereka yang secara langsung dan secara tidak langsung berkecimpung di bidang penegakan hukum. Dari pengertian yang luas tadi, Soerjono Soekanto lebih membatasi pengertiannya yaitu kalangan yang secara langsung berkecimpung dalam bidang penegakan hukum yang tidak hanya mencakup law enforcement, akan tetapi juga peace maintenance. Dengan demikian mencakup mereka yang bertugas di bidang-bidang kehakiman, kejaksaan, kepolisian, kepengacaraan, dan pemasyarakatan.

Apabila hukum itu bertumpu pada “peraturan dan perilaku”, maka hukum yang progresif lebih menempatkan faktor perilaku di atas peraturan. Dengan demikian faktor serta kontribusi manusia dianggap lebih menentukan daripada peraturan yang ada. 

Seperti pandangan Prof. Satjipto Raharjo bahwa saat ini kita memerlukan sebuah hukum yang menempatkan factor perilaku diatas peraturan. Lawrence M. Friedmen megatakan bahwa efektifitas penegakan  hukum itu dipengaruhi 3 hal yaitu substansi,struktur,dan kultur. Yang pertama substansi atau materi hukum, saat ini Indonesia sedang mengalami kekurangan keckapan para legislator atau pembuat undang-undang dalam menentukan bagaimana materi hukum. Lihat saja pada pertengahan 2019 terjadi demo besar-besaran terkait Undang-undang ,saat ini DPR sebagai legislator merupakan penentu baik tidaknya produk hukum tersebut.Akan tetapi kondisi sekarang ini DPR tidak semuanya paham mengenai Hukum tidak bisa dipungkiri anggota DPR merupakan dari berbagai lapisan masyarakat bukan hanya dari ahli hukum.Meskipun dalam sebuah komisi ada biro hukumnya teta[pi nuansa politik lebih kental dibandingkan dengan kepentingan khalayak luas.Kedua Struktur hukum ialah perangkat atau lembaga yang menjalankan substansi diatas, dalam hal ini Polisi ,Jaksa, Hakim, serta lembaga terkait sangatlah mempengaruhi kinerja dari substansi diatas.Tetapi kondisi saat ini struktur hukum ini banyak yang bekerja tidak sesuai dengan tupoksinya.Lihat saja sudah bukan rahasia umum lagi lembaga seperti Polisi,Jaksa,dan Hakim sudah dicap negative oleh masyarakat. Menurut Koentjoroningrat kita memiliki budaya hukum yang “menerabas”, memang betul sakali pernyataan seperti itu kita lebih memilih mudah ketimbang sulit. Prosedur hukum yang dinilai berbelit-belit dan tidak efektif menjadi kuncinya tak heran mengapa saat ini seringkali kita dengar kasus suap polisi,jaksa,bahkan hakim.

Penegakan hukum yang berkeadilan harus mencakup hal-hal sebagai berikut yaitu:

a. Perlindungan HAM;

b. Persamaan derajat dan kedudukan di hadapan hukum; dan

c. Asas proporsionalitas antara kepentingan individu dan kepentingan sosial.

Seringkali penegakan hukum tekanannya hanya selalu diletakkan pada aspek ketertiban semata. Hal ini mungkin sekali disebabkan oleh karena hukum diidentikkan dengan penegakan perundang-undangan, asumsi seperti ini adalah sangat keliru, karena hukum itu harus dilihat dalam satu sistem, yang menimbulkan interaksi tertentu dalam berbagai unsur sistem hukum yang tidak hanya mengacu pada aturan (codes of rules) dan peraturan (regulations), namun mencakup bidang yang luas, meliputi struktur, lembaga dan proses (procedure) yang mengisinya serta terkait dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) dan budaya hukum (legal culture).

Dalam konteks penegakan hukum, budaya hukum (legal culture) menjadi elemen yang sangat penting. Budaya hukum adalah meliputi pandangan, kebiasaan maupun perilaku dari masyarakat mengenai pemikiran nilai-nilai dan pengharapan dari sistem hukum yang berlaku, dengan perkataan lain, budaya hukum itu adalah iklim dari pemikiran sosial tentang bagaimana hukum itu diaplikasikan, dilanggar atau dilaksanakan. Setiap masyarakat, negara dan komunitas mempunyai budaya hukum sendiri yang dipengaruhi nilai-nilai budaya yang hidup dimasyrakat baik itu sukusuku atau adat maupun pengaruh agama.

Di bidang budaya hukum, pembenahan budaya hukum di Indonesia perlu dilakukan baik terhadap aparat penegak hukum di satu pihak yang cenderung menegakkan hukum dengan mengedepankan kepastian hukum, maupun terhadap masyarakat di pihak yang lain yang cenderung menekankan padarasa keadilan. Oleh karenanya terjadi ambivalensi dalam penegakan hukum, sehingga diharapkan aparat penegak hukum mampu memberikan penilaian berdasarkan pertimbangan sosiologis untuk melakukan tindakan agar rasa keadilan masyarakat dapat terpenuhi.

Penegakan hukum di Indonesia seringkali terjadi intervensi dan kooptasi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan dengan perkara yang sedang ditangani, sehingga berakibat terganggunya independensi aparat penegak hukum dalam menyelesaikan perkara. Berkenaan dengan hal tersebut, diperlukan transparansi pada setiaptindakan dalam penegakan hukum.

Melihat kenyataan yang demikian, para penegak hukum semestinya tidak boleh hanya mengedepankan aspek hukum formil semata. Penegakan hukum yang hanya bertitik tolak dari substansi norma hukum formil yang ada dalam undang-undang (law in book’s), akan cenderung mencederai rasa keadilan masyarakat. Seyogyanya penekanannya harus juga bertitik tolak pada hukum yang hidup (living law). Lebih jauh para penegak hukum harus memperhatikan budaya hukum (legal culture), untuk memahami sikap, kepercayaan, nilai dan harapan serta pemikiran masyarakat terhadap hukum dalam sistem hukum yang berlaku.

 

Sumber:

Luthfi Ashori, “Reformasi Penegakan Hukum Perspektif Hukum Progresif”, Jurnal Yuridis Vol. 4 No. 2, Desember 2017: 148-163

M. Husein Maruapey, “Penegakan Hukum dan Perlindungan Negara”, Jurnal Ilmu Politik dan Komunikasi Volume VII No. 1 / Juni 2017

Shared:

Berita

KABAR C

13/10/2020 18:13

KABAR B

13/10/2020 18:09

Kabar UMM

05/11/2019 07:32